Kepala Daerah Baru Lebih Gemar Bangun Infrastruktur: Investasi Publik atau Peluang Balik Modal Lebih Mudah ?

Fenomena pembangunan infrastruktur yang masif , Selasa (20/05/2025). Foto : Herawansyah / IndonesiaInteraktif.com

 

IndonesiaInteraktif.com, Bengkulu — Fenomena pembangunan infrastruktur yang masif di era kepala daerah baru memicu beragam interpretasi. Di satu sisi, geliat proyek fisik seperti jalan, jembatan, gedung, dan kawasan ekonomi dianggap sebagai bukti nyata kerja pemerintah. Namun di sisi lain, sejumlah pengamat menyoroti bahwa orientasi pada pembangunan fisik bukan semata demi pelayanan publik, melainkan karena lebih mudah “mengembalikan modal politik” melalui fee proyek.

“Tak bisa dipungkiri, proyek fisik adalah ruang paling basah dalam anggaran daerah. Prosedurnya terukur, tapi celah untuk mark-up dan permainan fee juga terbuka lebar,” ujar seorang sumber internal di lingkungan pemerintahan daerah yang enggan disebutkan namanya.

Fenomena ini kerap terjadi pada kepala daerah yang baru terpilih. Dengan latar belakang politik yang pragmatis, serta biaya kampanye yang besar, sebagian kepala daerah menjadikan proyek infrastruktur sebagai instrumen untuk menutup utang politik, memperkuat patronase, atau bahkan memperkaya diri dan lingkar kekuasaan.

“Pembangunan SDM, tata kelola pemerintahan, atau reformasi pelayanan publik sering kali dikesampingkan karena hasilnya tidak instan dan tidak bisa dihitung dengan potongan persentase,” tambah pengamat kebijakan publik dari LIPI.

Transparansi pengadaan proyek menjadi isu sentral. Meski sistem LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) telah diterapkan, praktik pengaturan lelang, penunjukan langsung, hingga penggunaan kontraktor titipan masih menjadi rahasia umum di sejumlah daerah.

 

Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dari legislatif dan masyarakat sipil. Banyak DPRD yang justru terlibat dalam pengaturan proyek, sementara LSM dan media lokal kerap kehilangan daya kritis karena berhadapan dengan tekanan atau bahkan ikut menikmati “kue” proyek.

 

Namun, tidak semua kepala daerah terjebak pada praktik semacam ini. Ada juga yang menjadikan infrastruktur sebagai bagian dari strategi pengembangan wilayah secara berkelanjutan. Mereka membangun bukan untuk fee, tapi untuk fondasi masa depan.

 

Untuk mengatasi penyalagunaan keuangan  “balik modal” masyarakat diharapkan menjadi agen perubahan yang penting dengan mengawasi setiap pelaksanaan pembangunan secara total sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyebabkan kebocoran keuangan negara dapat dicegah.

 

Mengapa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Sering Terjadi ?

 

Korupsi, kolusi, dan nepotisme sering terjadi karena adanya kesempatan dan niat yang buruk dari para pelaksana pembangunan. Korupsi terjadi karena adanya peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan atau posisi untuk keuntungan pribadi, sedangkan kolusi dan nepotisme adalah bentuk kerjasama atau pertimbangan yang tidak adil dalam pengambilan keputusan, seringkali untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. 

 

Lebih lanjut, korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat terjadi karena beberapa faktor :

 

1. Adanya kesempatan:
Peluang untuk melakukan tindakan tersebut, misalnya karena sistem yang tidak transparan, lemahnya pengawasan, atau lemahnya penegakan hukum.  
 

2. Niat yang buruk:
Keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu, bahkan dengan mengorbankan kepentingan umum.  
 

3. Kelemahan dalam sistem:
Sistem yang tidak efisien, tidak transparan, atau tidak akuntabel dapat menciptakan celah bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme berdampak negatif pada pembangunan ekonomi, sosial, dan politik. Korupsi menyebabkan kerugian keuangan, kolusi menghambat kemajuan, dan nepotisme menciptakan ketidakadilan. 

 

Untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlu dilakukan upaya-upaya seperti:
 

1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas:
Sistem yang transparan dan akuntabel dapat meminimalisir peluang terjadinya tindakan tersebut.

 

2. Memperkuat pengawasan:
Pengawasan yang ketat terhadap para pelaksana pembangunan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau posisi.

 

3. Menegakkan hukum secara konsisten:
Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat menjadi efek jera.

 

4. Meningkatkan moral dan etika:
Pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya integritas dan moralitas dapat membantu membangun budaya anti-korupsi.

 

Ditulis Oleh :
Dr. Ir. H. Herawansyah, S.Ars., M.Sc., MT., IAI.

Editor : 
Adv. Rindu Gita Tanzia Pinem, SH., MH, CPA, CPM.